Selasa, 05 Juni 2012

Yusuf Qordhowi : HUKUM TIDAK BERPUASANYA ORANG TUA, WANITA HAMIL, DAN MENYUSUI


Pdrtanyaan:
1. Bolehkah orang lanjut usia tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dan apakah yang wajib ia lakukan?
2. Bolehkah wanita hamil tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan alasan khawatir anak yang dikandungnya akan meninggal, dan apakah yang wajin ia lakukan?
3. Bolehkan memakai wangi-wangian pada bulan Ramadhan?
Jawaban:
1. Orang lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan, jika merasa berat (tidak kuat) berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Demikian pula orang sakit yang tidak ada harapan sembuh.
Orang yang sakit menahun –berdasarkan keterangan dokter bahwa ia sukar diobati atau kesembuhannya akan memakan waktu lama—boleh berbuka puasa. Namun, ia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap hari. Hal ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana firman-Nya:

“… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …” (Al Baqarah: 185)
“… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan …” (Al Hajj: 78)
Ibnu Abbas r.a. berkata dari Nabi saw:
“diberi rukhshah bagi orang lanjut usia untuk berbuka puasa, dan memberi makan orang miskin setiap harinya, serta tidak ada kewajiban qadha atasnya.” (HR Daruquthni dan Hakim. Keduanya mensahihkan)
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang isinya hampir sama dengan di atas. Ditambahkan bahwa untuk orang lanjut usia dan semacamnya Allah menurunkan ayat:
“… dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya …” (Al Baqarah: 184)
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa memberi makan lebih dari seorang miskin lebih utama dan lebih kekal (pahalanya) di sisi Allah.
2. Mengenai pertanyaan bolehkan wanita hamil tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan alasan khawatir anak yang dikandungnya meninggal dunia, jawabnya adalah boleh. Ia boleh tidak berpuasa. Bahkan jika kekhawatiran ini dikuatkan oleh keterangan dokter muslim terpercaya dalam keahlian dan agamanya –bahwa anaknya akan meninggal jika ia berpuasa—ia bukan lagi boleh tetapi wajib berbuka (tidak berpuasa). Allah berfirman:
“… dan janganlah kamu bunuh anak-anakmu …” (Al An’am: 151)
Anak adalah jiwa yang harus dihormati. Karena itu, tidak boleh seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan, mengabaikannya hingga menyebabkan kematiannya. Allah Ta’ala sama sekali tidak menyengsarakan hamba-hamba-Nya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk dalam kelompok orang-orang yang difirmankan Allah:
“… dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin …” (Al Baqarah: 184)
Apabila wanita hamil dan menyusui hanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya (tidak termasuk anaknya) maka kebanyakan ulama berpendapat bahwa mereka boleh berbuka puasa (tidak berpuasa) tetapi wajib mengqadhanya saja (tanpa membayar fidyah). Dalam hal ini kedudukan mereka sama dengan orang sakit.
Bagaimana jika wanita hamil dan menyusui tersebut mengkhawatirkan keselamatan anaknya? Dalam hal puasa para ulama bersepakat bahwa ia (wanita hamil) boleh tidak berpuasa, sedangkan dalam masalah qadha dan membayar fidyah mereka berbeda pendapat. Apakah wanita tersebut wajib mengqadha saja atau memberi makan orang miskin saja, ataukah wajib mengqadha dan memberi makan sekaligus?
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas cukup mewajibkan si wanita hamil memberi makan orang miskin saja, sedangkan kebanyakan ulama berpendapat bahwa mereka wajib mengqadha. Adapula sebagian ulama berpendapat bahwa mereka wajib mengqadha dan memberi makan sekaligus.
Menurut saya, wanita tersebut cukup memberi makan orang miskin saja tanpa wajib mengqadha. Keringanan ini lebih ditujukan bagi wanita yang setiap tahun hamil atau menyusui sehingga tidak mempunyai kesempatan mengqadha. Misalnya, pada (bulan puasa) tahun ini ia dalam keadaan hamil, pada bulan puasa berikutnya menyusui, dan tahun selanjutnya hamil lagi … dan seterusnya. Alhasil, setiap tahun ia selalu dalam siklus antara hamil dan menyusui.
Kalau wanita seperti itu diwajibkan mengqadha puasa yang ditinggalkannya karena hamil dan menyusui, berarti ia harus puasa terus menerus. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang amat menyulitkan, padahal Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-hamb-Nya.
3. Untuk pertanyaan ketiga mengenai hukum menggunakan wangi-wangian pada bulan Ramadhan, jawabnya adalah boleh. Tidak ada seorang (ulama) pun yang mengatakan haram menggunakan wangi-wangian pada bulan Ramadhan, dan tidak ada pula yang mengatakan bahwa memakai wangi-wangian dapat merusak puasa. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar